DALAM lima tahun terakhir, terjadi
pergeseran pasar (market) minyak nabati dunia, dari sebelumnya
didominasi konsumsi minyak kedelei yang diproduksi di negara maju
(Eropa) menjadi minyak sawit yang diproduksi di negara berkembang
(Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Nigeria, Ghana dll). Dari sisi
suplai tahun 2007, pasokan produksi Indonesia menjadi yang terbesar
(44%) menggeser pasokan Malaysia (41%) untuk konsumsi minyak sawit
dunia.Harga minyak mentah (crude oil) yang
naik di luar perkiraan juga membuat minyak sawit selalu menjadi
pembicaraan sebagai substitusi dalam bentuk biofuel.
Data-data tersebut mengukuhkan bagaimana
strategisnya komoditi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dalam
perekonomian Indonesia termasuk Provinsi Sumut.
Provinsi ini dalam sejarahnya adalah
daerah yang pertama sekali (tahun 1911) mengelola komoditi kelapa sawit
dikelola secara komersial/industri dari sebelumnya yang hanya berupa
tanaman hias di Kebun Raya Bogor. Sekarang, atau 100 tahun kemudian
hampir di semua kabupaten di Sumut tersebar perkebunan kelapa sawit
berupa perkebunan rakyat (408.699 Ha), perkebunan swasta (342.954 Ha)
dan perkebunan negara/BUMN (296.093 Ha).
Data-data yang dikutip dari Dr Tungkot
Sipayung dalam bukunya “Perkebunan Kelapa Sawit dalam Perekonomian dan
Lingkungan Hidup Sumatera Utara” bahwa, di Sumut terjadi peningkatan
pangsa ekspor kelapa sawit dan turunannya dari hanya sekitar 30% pada
tahun 2000 menjadi 49% pada tahun 2009 dari total ekspor Sumut. Bahkan
tahun 2008 kontribusi “agribisnis kelapa sawit” pada Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) Sumut mencapai 70%.
Jenis pekerjaan di perkebunan yang
bersifat padat karya pun sangat membantu penyerapan tenaga kerja di
Sumut dengan struktur tenaga kerja yang masih didominasi pendidikan
rendah. Maka pemilihan tema “Sawit Sahabat Rakyat” oleh GAPKI (Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) pada semarak memperingati 100 tahun
kelapa sawit beberapa waktu lalu, sangat tepat dan menjadi komitmen
bersama mewujudkannya.
Dan kini, yang penting adalah bagaimana
meningkatkan kredibilitas produk sawit dari sisi pengelolaan sistem
keberlanjutan (sustainaibility). Seiring itu, beberapa tahun lalu,
diperkenalkan prinsip dan kriteria RSPO (Roundtable Sustainable Palm
Oil). Puluhan perusahaan di Indonesia mendapat sertifikasi itu walaupun
sifat pemenuhan RSPO adalah sukarela (voluntary).
RSPO adalah standar yang dibuat
berdasarkan kesepakatan/roundtable para pemangku kepentingan seperti
konsumen, produsen dan LSM lingkungan internasional. RSPO yang
bersekretariat di Kuala Lumpur ini menjadi wadah komunikasi para pihak
berkepentingan untuk menyamakan persepsi tentang konsep keberlanjutan
(sustainability).
Pedoman ISPO
Dalam launching ISPO di Medan satu tahun lalu, pemerintah menekankan bahwa Sertifikasi ISPO bukanlah untuk mengganti/menyaingi Sertifikasi RSPO. Prinsip dan kriteria ISPO muncul sebagai inisiatif dari pemerintah atas kesadaran/deklarasi bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk perkebunan kelapa sawit harus dilakukan secara berkelanjutan (sustainable).
Dalam launching ISPO di Medan satu tahun lalu, pemerintah menekankan bahwa Sertifikasi ISPO bukanlah untuk mengganti/menyaingi Sertifikasi RSPO. Prinsip dan kriteria ISPO muncul sebagai inisiatif dari pemerintah atas kesadaran/deklarasi bahwa pengelolaan sumberdaya alam termasuk perkebunan kelapa sawit harus dilakukan secara berkelanjutan (sustainable).
Dalam hal terbitnya pedoman ISPO,
Menteri Pertanian menyatakan sebagai amanat konstitusi UUD pasal 33 ayat
3, bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Secara garis besar, pedoman ISPO
didasarkan pada 4 hal, yaitu kepatuhan hukum, kelayakan usaha,
pengelolaan lingkungan dan hubungan sosial yang dirumuskan dalam prinsip
prinsip sebagai berikut: 1) sistem perijinan dan manajemen perkebunan;
2) penerapan pedoman teknis budi daya dan pengolahan kelapa sawit; 3)
Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 4) tanggungjawab terhadap
pekerja; 5) tanggung jawa sosial dan komunitas; 6) pemberdayaan ekonomi
masyarakat; 7) peningkatan usaha secara berkelanjutan. Ketujuh prinsip
itu dirinci ke dalam 27 kriteria dan 117 indikator yang lengkapnya
dapat dilihat pada Permentan No 19/2011.
Di banyak perkebunan negara dan swasta
besar, berdasarkan pengalaman kami pemenuhan terhadap prinsip tersebut
sudah relatif memadai kecuali dalam beberapa kriteria, yaitu mekanisme
penanganan sengketa lahan dan kompensasi, mekanisme pemberian informasi,
pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity), identifikasi kawasan
yang mempunyai nilai konservasi tinggi (NKT), mitigasi emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) dan realisasi tanggung jawab sosial perusahaan. Sedang untuk
prinsip-prinsip lainnya hanya perlu perbaikan dokumentasi agar pemenuhan
buktinya dapat ditunjukkan dan konsisten.
Persiapan Sertifikasi ISPO
Seperti juga sistem-sistem lain seperti ISO 9000, 14000 dan SMK3, sebelum mengajukan sertifikasi, perlu melakukan pembenahan di internal perusahaan. Langkah-langkah yang dapat digunakan adalah: Pertama) melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa staf yang dipersiapkan sebagai tim internal;Kedua) para personal yang terlatih melakukan analisa kesenjangan (Gap Analysis) untuk menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap awal; Ketiga) perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan.
Seperti juga sistem-sistem lain seperti ISO 9000, 14000 dan SMK3, sebelum mengajukan sertifikasi, perlu melakukan pembenahan di internal perusahaan. Langkah-langkah yang dapat digunakan adalah: Pertama) melakukan pelatihan pemahaman prinsip dan kriteria ISPO kepada beberapa staf yang dipersiapkan sebagai tim internal;Kedua) para personal yang terlatih melakukan analisa kesenjangan (Gap Analysis) untuk menguji tingkat pemenuhan perusahaan terhadap ISPO pada tahap awal; Ketiga) perusahaan melakukan perbaikan berdasarkan prioritas yang ditetapkan.
Keempat), setelah perbaikan dianggap
sudah memenuhi, perusahaan mengajukan sertifikasi kepada badan
sertifikasi sesuai pilihannya. Ruang lingkup yang disertifikasi adalah
kebun sendiri dan pabrik kelapa sawit (PKS), perusahaan berkewajiban
mensosialisasikan ISPO kepada para pemasok TBS dari perkebunan lain jika
menerima TBS selain kebun sendiri. Masa sertifikat ISPO berlaku selama
5 tahun sebelum dilakukan penilaian ulang (re-assesment) dan sekali
dalam setahun dilakukan audit pengawasan (survailance).
Akhirnya, yang menjadi kunci utama
suksesnya implementasi ISPO ini adalah komitmen pemilik/top manajemen
perkebunan. Strategi tersebut di atas hanya bisa berjalan efektif jika
pemilik/top manajemen mempunyai komitmen penuh untuk memenuhi ISPO.
Maka ke depan kita dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa semua
minyak sawit Indonesia adalah minyak sawit lestari, perkebunan minyak
sawit yang dikelola dengan mematuhi hukum, melaksanakan praktek
perkebunan terbaik serta memperhatikan lingkungan dan sosial.
Ujian sesungguhnya program ini tetap
pada penerimaan pasar (market acceptance), beberapa tahun ke depan kita
akan melihat respon konsumen terhadap konsep pengelolaan kelapa sawit
berkelanjutan yang diprakarsai Indonesia ini.(Oleh: Henry Marpaung)
Penulis adalah pengajar di sekolah perkebunan dan auditor ISPO pada Badan Sertifikasi Nasional. Tinggal di Medan
Sumber: Medan Bisnis http://www.medanbisnisdaily.com