Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai program hilirisasi produk kelapa sawit yang tengah digalakkan pemerintah masih berjalan setengah hati. Pasalnya hingga saat ini pemerintah hanya berencana membangun infrastruktur industri, tanpa merangsang perilaku para pengusaha untuk membangun industri pengolahan produk turunan kelapa sawit.
Bendaraha Gapki Sumut Laksamana Adyaksa mengatakan selama ini para pengusaha cenderung lebih suka melakukan perdagangan minyak sawit mentah (CPO), karena saat ini bea keluar yang dikutip pemerintah untuk minyak sawit mentah, masih sama dengan produk olahan. Sehingga karena tak mau direpotkan dengan sejumlah perijinan serta persoalan pengolahan, para pengusaha memilih untuk melakukan ekspor CPO.
“Untuk apa diolah, kalau ekspor CPO saja sudah menguntungkan. Makanya itu perlu ada pengaturan ulang terkait bea keluar. Pemerintah harusnya membebankan bea keluar yang berbeda secara signifikan antara CPO dan produk olahannya. Bea keluar untuk produk CPO harus dibuat lebih tinggi, sehingga dengan margin yang ada para pengusaha lebih mau mengolahnya terlebih dahulu.”Ujarnya pada Smart FM di Medan, Selasa (16/10/2012).
Laksamana menambahkan, dengan adanya rangsangan tersebut, pemerintah juga diuntungkan. Karena dengan sendirinya investasi industri pengolahan masuk, dan lapangan pekerjaan akan terbuka dengan lebih luas.
“Kalau bea keluarnya dinaikkan, tentunya investasi pembangunan pabrik yang menjadi pilihan. Tentunya ini akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Disamping itu, industri yang ada akan membuat sektor riil bergerak. Jadi ada efek dominonya, dibandingkan hanya diekspor mentah. Tapi kalau semua diserahkan pada pengusaha untuk memilih, tentunya pengusaha enggak mau repot.”Jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Al Musawa menyatakan, mendukung percepatan hilirisasi produk hasil perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan prakiraan bahwa pada 2013 Indonesia menggeser India menjadi konsumen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.
Bendaraha Gapki Sumut Laksamana Adyaksa mengatakan selama ini para pengusaha cenderung lebih suka melakukan perdagangan minyak sawit mentah (CPO), karena saat ini bea keluar yang dikutip pemerintah untuk minyak sawit mentah, masih sama dengan produk olahan. Sehingga karena tak mau direpotkan dengan sejumlah perijinan serta persoalan pengolahan, para pengusaha memilih untuk melakukan ekspor CPO.
“Untuk apa diolah, kalau ekspor CPO saja sudah menguntungkan. Makanya itu perlu ada pengaturan ulang terkait bea keluar. Pemerintah harusnya membebankan bea keluar yang berbeda secara signifikan antara CPO dan produk olahannya. Bea keluar untuk produk CPO harus dibuat lebih tinggi, sehingga dengan margin yang ada para pengusaha lebih mau mengolahnya terlebih dahulu.”Ujarnya pada Smart FM di Medan, Selasa (16/10/2012).
Laksamana menambahkan, dengan adanya rangsangan tersebut, pemerintah juga diuntungkan. Karena dengan sendirinya investasi industri pengolahan masuk, dan lapangan pekerjaan akan terbuka dengan lebih luas.
“Kalau bea keluarnya dinaikkan, tentunya investasi pembangunan pabrik yang menjadi pilihan. Tentunya ini akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Disamping itu, industri yang ada akan membuat sektor riil bergerak. Jadi ada efek dominonya, dibandingkan hanya diekspor mentah. Tapi kalau semua diserahkan pada pengusaha untuk memilih, tentunya pengusaha enggak mau repot.”Jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Fuad Al Musawa menyatakan, mendukung percepatan hilirisasi produk hasil perkebunan kelapa sawit sehubungan dengan prakiraan bahwa pada 2013 Indonesia menggeser India menjadi konsumen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.
"Bila apa yang diprakirakan itu terwujud, berarti proses hilirisasi
produk kelapa sawit di Indonesia berjalan dengan baik," katanya di
Banjarmasin, Rabu kepada wartawan yang tergabung dalam Journalist
Parliament Community (JPC) Kalimantan Selatan, Rabu, menanggapi prediksi
Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).
Nabiel, legislator asal daerah pemilihan Kalsel dari Partai Keadilan
Sejahtera itu mengungkapkan, berdasarkan prediksi DMSI, Indonesia akan
menjadi konsumen CPO terbesar di dunia menggeser India pada tahun 2013.
Anggota Komisi IV DPR yang juga membidangi pertanian (termasuk
perkebunan) itu mendukung bila pada 2013 Indonesia benar-benar menjadi
konsumen CPO terbesar di dunia.
"Selain itu percepatan hilirisasi produk kelapa sawit itu bisa
mengurangi angka kemiskinan di Indonesia," lanjut alumnus Institut
Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar) itu.
Pasalnya, menurut wakil rakyat yang menyandang gelar insinyur dan
magister bidang pertanian itu, dengan percepatan hilirisasi tersebut
berarti industri hilir kelapa sawit di Indonesia berkembang.
"Keberadaan industri tersebut bisa menyerap tenaga kerja yang lebih
besar, hal itu berarti pula mengurangi pengangguran, sekaligus
menurunkan angka kemiskinan," tandasnya.
Mengutip prediksi DMSI, ia mengungkapkan, pada 2012 tiga negara
konsumen CPO terbesar di dunia, yaitu India 7,95 juta ton, Indonesia
7,87 juta ton dan China 6,4 juta ton per tahun.
Pada 2013 diprediksi konsumen CPO terbesar dunia, akan berubah
menjadi Indonesia 9,2 juta ton, India 8,35 juta ton dan China 6,72 juta
ton. Sementara perkiraan produksi sawit Indonesia 2013 mencapai 28 juta
ton.
Kalau melihat angka diatas, menurutnya, meski ada peningkatan
konsumsi dalam negeri, namun konsumsi tersebut masih relatif kecil
dibandingkan CPO yang keluar.
Pemakaian CPO dalam negeri 9,2 juta ton, berarti sekitar 30 persen. Selebihnya 19 juta ton atau sekitar 70 persen diekspor.
"Kata mengekspor bahan mentah yang memiliki potensi nilai tambah
tinggi sebanyak 19 juta ton. Oleh karena itu sangat disayangkan,"
keluhnya. (SHN-A013)