Minyak sawit Indonesia tengah menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena
Indonesia saat ini merupakan negara pengekspor terbesar, tetapi juga
karena tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan minyak sawit
yang dihasilkan melalui pengelolaan yang lestari.
Isu kelestarian bukanlah hal yang mudah disepakati semua pihak, begitu pun mengenai cara pembuktiannya. Namun, semua pihak akan bersepakat bahwa pilar utama yang menyokong kelestarian adalah adanya keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan.
WWF-Indonesia sebagai organisasi lingkungan yang telah berkiprah
selama 50 tahun di Indonesia, memiliki tanggung jawab sebagai bagian
komponen bangsa untuk membantu terwujudnya pembangunan berkelanjutan
yang mengandung tiga pilar tersebut. Salah satu misi WWF di Indonesia
adalah mempromosikan pelestarian bagi kesejahteraan masyarakat, melalui
pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. WWF memandang bahwa
masyarakat semestinya menjadi penerima manfaat (beneficiary)
utama dari pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Manfaat tersebut
tentu saja tidak hanya berupa manfaat yang kasat mata atau tangible,
tetapi juga manfaat lain dalam bentuk produk dan jasa lingkungan bagi
masyarakat yang tak terhitung harganya. Hal ini menjadi landasan
pemikiran bagi WWF-Indonesia dalam mendorong praktik minyak sawit
berkelanjutan.
Tantangan industri kelapa sawit vis-a-vis deforestasi
Pengembangan perkebunan sawit pada lahan-lahan yang telah
terdegradasi merupakan tantangan tersendiri bagi industri sawit
Indonesia. Pengembangan sawit semestinya tidak dilakukan pada kawasan
hutan dengan nilai konservasi tinggi --seperti pada lahan gambut, hutan
primer dan kawasan dengan populasi satwa-satwa langka yang dilindungi,
melainkan hanya pada lahan-lahan yang secara ekologi telah
terdegradasi.
Kegagalan dalam menerapkan prinsip tersebut kerap menyebabkan industri sawit dituding sebagai penyebab timbulnya deforestasi dan kerusakan keanekaragaman hayati. Hal ini pula yang kadang menjadi sumber “ketegangan” antara banyak pihak. Tak jarang organisasi lingkungan pun dituding menyebarkan kampanye hitam demi menguntungkan kepentingan asing.
WWF-Indonesia meyakini bahwa pembangunan ekonomi selalu dapat berjalan seiring dengan prinsip-prinsip keberlanjutan baik lingkungan maupun sosial. WWF meminta kepada pelaku usaha agar pengembangan kelapa sawit hanya dilakukan pada lahan-lahan yang terlantar atau terdegradasi, dan bukan dengan mengorbankan hutan alam atau lahan gambut sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan daya dukung kehidupan. Dengan mengakomodir aspek-aspek lingkungan dan sosial, termasuk pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat lokal dan penduduk asli, WWF percaya bahwa pelaku usaha tetap dapat memenuhi target produksi melalui optimalisasi produktivitas lahan.
Standardisasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) mencakup persyaratan pelindungan area bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV)
merupakan indikator kunci diterapkannya prinsip keberlanjutan pada
industri minyak sawit. RSPO dibangun dengan pemahaman bersama dari para
pihak yang terkait dalam rantai pasok minyak sawit. Mekanismenya
dibangun dan dijalankan melalui konsensus para pihak dalam menentukan
standard-standard yang akan diterapkan pada sistem sertifikasi.
WWF-Indonesia menyambut baik kebijakan pemerintah yang telah menetapkan ISPO pada 2011 sebagai mekanisme wajib bagi pelaku usaha untuk pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki komitmen kuat terhadap industri sawit yang lestari. Diterapkannya ISPO sebagai aturan wajib dari pemerintah juga merupakan indikasi pengaruh positif yang dibawa RSPO sejak aktif berdirinya asosiasi non-profit dan sukarela tersebut pada 2004.
Dengan mengaplikasikan RSPO dan ISPO, harapannya kedua skema tersebut dapat mendukung komitmen Pemerintah khususnya komitmen Pemerintah RI untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (bussines as usual/BAU).
Presiden SBY dalam pidatonya, seperti yang dikutip dan disampaikan
kembali oleh Ketua Umum GAPKI Joefly J. Bahroeny pada perayaan "Semarak
100 Tahun Industri Kelapa Sawit Indonesia" di Medan 29 Maret 2011,
meminta agar Indonesia benar-benar berkomitmen dalam menerapkan prinsip green development (sustainability)
dalam operasional perusahaan. Presiden bahkan menyatakan siap berdiri
paling depan dan pasang badan dalam membela kepentingan industri
nasional termasuk industri kelapa sawit, terutama atas berbagai tuduhan
yang tidak benar dari dunia internasional. Namun demikian, Presiden
mengharapkan agar para pelaku usaha benar-benar mematuhi berbagai
ketentuan dan peraturan pemerintah yang berlaku. Sistem RSPO dan ISPO
yang menitikberatkan kepada operasional pelaku usaha sawit mempunyai
peranan penting terhadap tercapainya imbauan ini. Keduanya sama-sama
dimaksudkan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa minyak sawit diproduksi
dengan menerapkan prinsip sustainability yang memperhatikan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pasar Sawit yang Lestari
Pasar Indonesia sudah bergerak maju menuju prinsip kelestarian. Data tahun 2013 menunjukkan bahwa produser sawit Indonesia saat ini mendominasi suplai kelapa sawit yang bersertifikasi ramah lingkungan RSPO atau RSPO Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global. Persentasi suplai CSPO dari Indonesia yakni 50% dari CSPO global adalah dari Indonesia sudah melebihi negara tetangga Malaysia dan jumlahnya mencapai hampir setengah dari total suplai di pasar global. Jika pemerintah dan produsen Indonesia melihat kondisi ini sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar global, maka Indonesia perlu lebih serius menjaga konsistensi dan kredibilitas yang sudah terbangun.
Kerja sama dan sinergi para pihak termasuk pemegang kebijakan, pengusaha, LSM, petani, serta masyarakat sangat diperlukan demi keberlanjutan masa depan sawit dan perekonomian Indonesia. Semangat nasionalisme ini tidak hanya berarti menjunjung tinggi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, tetapi juga artinya mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan di Bumi demi masa depan anak cucu dan negara yang kita cintai.
Peran Petani Swadaya Dalam Transformasi Pasar
Kelapa sawit merupakan komoditi dominan di dalam sektor perkebunan di Indonesia, dengan luasan 9,27 juta hektar dan produksi mencapai 23,633 juta ton per tahun. Sekitar 45% nya merupakan perkebunan kelapa sawit rakyat (Kementan, 2010). Berdasarkan data, di Provinsi Riau dari total luasan 2.1 juta hektar perkebunan kelapa sawit; 1,1 juta hektar dimiliki oleh petani, dan sebesar 76% dari luasan tersebut dimiliki oleh petani kelapa sawit swadaya (Disbun Riau, 2011). Figur ini menggambarkan bahwa petani mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Luasnya lahan sawit yang dikelola oleh petani swadaya belum menghasilkan hasil produksi yang baik dan maksimal, sehingga petani mempunyai tendensi untuk memperluas lahan kebunnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan, kawasan hutan baik lindung maupun produksi masih menjadi sasaran perluasan kebun sawit petani swadaya. Salah satunya fakta yang terjadi di Taman Nasional (TN) Tesso Nilo, Riau. Dari total luas kawasan TN 83 ribu hektar, sekitar 30 ribu hektar telah dirambah untuk perkebunan sawit (WWF-Indonesia, 2010). Padahal, peraturan perundang-undangan melarang adanya kegiatan perkebunan di kawasan taman nasional. Hal pendorong ini pun dipicu oleh minimnya pengetahuan petani tentang praktik kebun yang lestari.
Salah satu upaya yang dilakukan WWF-Indonesia untuk mengatasi permasalahan tersebut, WWF melakukan pendampingan kepada 349 petani swadaya di sekitar kawasan TN untuk mendapatkan sertifikasi RSPO. Upaya ini mendorong optimaliasi baik dari sisi produksi, pengelelolaan lingkungan, dan manajemen operasional petani swadaya, serta kelangsungan ekonomi.
Dengan memperkenalkan praktik pembangunan kelapa sawit berkelanjutan maka kekhawatiran akan hilangnya kawasan hutan yang tersisa dapat ditekan. Melalui sertifikasi, penerapan pembangunan perkebunan kelapa sawit lestari yang memenuhi kriteria lingkungan, sosial dan ekonomi, diharapkan menjadi sebuah keniscayaan. Irwan Gunawan (Deputy Director Market Transformation) WWF-Indonesia