Tanpa melebih-lebihkan, periode waktu
sejak pergantian milenium layak disebutkan sebagai dasawarsa minyak
sawit. Antara tahun 2000 dan 2010, produksinya naik menjadi dua kali
lipat, sementara lahan yang ditanami sawit naik 7 kali lipat dari 1.1
juta ha menjadi 7.8 juta ha (Data Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011).
Kebun sawit pertama kali ditanam pada 1960an di Indonesia. Pada 1980
produksi CPO menjadi 0.72 juta ton dan produksinya naik menjadi 2.41
juta ton pada tahun 1990 atau naik drastis sampai 7.0 juta ton pada
2000. Pada akhir 2011, produksi CPO di Indonesia sudah mencapai 23.6
juta ton. Ini berarti sudah sekitar 45 persen dari produksi global,
demikian hasil penelitian Slette dan Wiyono. Sekarang, 4.5 juta orang
bekerja dalam produksi minyak sawit di Indonesia.
Mayoritas produksi minyak sawit
digunakan oleh industri pangan. Minyak sawit secara global menjadi
minyak yang terpenting. Hasil produksi minyak per hektar rata-rata
menjadi lima kali lipat dibandingkan dengan hasil produksi tanaman
minyak yang lain. Dari produksi global yang mencapai 50 juta ton, 85
persen berasal dari Malaysia dan Indonesia. Indonesia kebanyakan
mengekspor crude palm oil (CPO), sementara mayoritas ekspor dari
Malaysia adalah produk minyak sawit yang sudah diolah. Produk-produk
pangan yang mengandung minyak sawit adalah peanut butter, lapisan kue
(frosting/coating) dan kue. Minyak sawit juga digunakan pada produksi
kosmetik dan bahan bakar nabati (biofuel).
Karena konsumsi pangan naik terus,
khususnya di China dan India, penjualan minyak sawit tetap akan laris
manis dalam dasawarsa yang akan datang. Sampai 2020, Indonesia
merencanakan untuk menaikkan produksinya dua kali lipat. Ada juga
insentif moneter, agar lebih banyak CPO diolah menjadi minyak sawit
halus. Sampai sekarang, sekitar separuh dari produksi CPO di Indonesia
diekspor tanpa diolah terlenih dahulu. Sisanya kebanyakan diolah menjadi
minyak goreng. Menurut Studi Boucher, sekitar separuh dari itu
diekspor, sementara yang lainnya dikonsumsi dalam negeri.
Untuk mencapai tujuan produksi itu,
lahan yang ditanami sawit akan diperluas dari 7.9 juta ha (2010) menjadi
20 juta ha (2020). Akibatnya, tekanan kepada kawasan hutan akan naik.
Untuk mencegah konversi hutan lindung menjadi kebun sawit, pada 2011
lalu pemerintah mengeluarkan moratorium dengan masa berlaku dua tahun,
agar tidak diberikan izin untuk konversi hutan yang layak dilindungi.
Menurut para LSM, moratorium tidak akan banyak berpengaruh karena tiga
perempat dari luas lahan yang dilindungi oleh moratorium tersebut sudah
dilindungi oleh peraturan-peraturan yang lain. Belum diketahui juga,
apakah moratorium tersebut akan diperpanjang setelah 2013.
Penghasilan moneter dari ekspor CPO dan
derivatnya per tahun mencapai lebih dari US$ 12 miliar. Karena sudah
lama membudidayakan sawit, Indonesia memiliki banyak pengalaman mengenai
untung-ruginya model-model bisnis yang berbeda menyangkut pembagian
hasil dan akibatnya pada penggunaan lahan. Akan tetapi, rencana
perluasan lahan sawit di Indonesia juga menimbulkan kekhawatiran
mengenai akibat sosial, ekonomi dan ekologi yang tidak diinginkan.
Beberapa tahun yang lalu, sektor sawit
diharapkan akan memenuhi kebutuhan energi Indonesia lewat produksi bahan
bakar nabati dari CPO. Tetapi harapan itu menjadi percuma. Menurut
Slette dan Wiyono, sektor bahan bakar nabati berkembang lamban, seperti
diindikasikan oleh angka pertumbuhan yang rendah antara 2006 dan 2011.
Sementara sektornya mulai berkembang, tetap saja hanya sekitar lima
persen dari produksi CPO dipakai untuk bahan bakar nabati. Jumlah bahan
bakar nabati yang diproduksi tumbuh dari 24 juta liter pada 2006 menjadi
sekitar 650 juta liter pada 2011.
Sebagian dari bahan bakar nabati yang
diekspor jumlahnya cenderung naik. Tetapi, pemakaian kapasitas kilang
minyak hanya 17 persen pada 2011. Maka, ekspansi sektor bahan bakar
nabati tidak akan membayakan produksi pangan yang berbasis CPO di masa
mendatang (Pacheco, 2012). Paling sedikit, untuk Eropa, bahan bakar
nabati dari CPO tidak memiliki prospek. Mulai 2018, hanya bahan bakar
nabati yang menghemat lebih dari 60 persen emisi gas rumah kaca
diizinkan di Eropa. Menurut data Prof. Alois Heißenhuber dari
Universitas Munich, bahan bakar nabati dari CPO menghemat 56 persen dan
nilai itu juga hanya dapat dicapai kalau gas metan dari proses
pembakaran diikatkan. Bahan bakar nabati yang melebihi 60 persen
penghematan emisi gas rumah kaca dapat diproses dari tanaman berikut
ini: etanol dari batang terigu atau dari tebu serta kayu HTI yang
diproses.
Sering kali, masyarakat lokal tidak
menolak pengembangan kebun sawit, tetapi menuntut pembagian hasil yang
adil dan ingin mempertahankan haknya atas lahan yang biasanya diakui
kepemilikannya dalam hukum adat setempat.
HAMBURG, Jaringnews.com – Pada
pertengahan dekade 1990an, banyak lahan belukar dan hutan karet di
dataran rendah pulau Sumatera mulai dikonversikan menjadi perkebunan
sawit. Perkebunan yang mengikutsertakan petani setempat, yaitu pola PIR,
dikembankan atas inisiatif pemerintah dan menyertakan bantuan Bank
Dunia. Pada pola tersebut, lahan sawit untuk masyarakat setempat
dipersiapkan oleh pengembang swasta. Setelah tiga atau empat tahun,
pengelolaan dilimpahkan kepada para petani yang mulai mengelola kebunnya
di bawah supervisi pengembang. Perusahaan tersebut membeli
tandan-tandan buah sawit matang dari para petani.
Sistem PIR untuk pertama kalinya
dikembangkan di Malaysia pada 1970an dan mulai dikembangkan di Indonesia
dalam program transmigrasi. PIR pertama kali diterapkan untuk tanaman
karet yang diikuti tanaman sawit pada 1980an. Sistem itu dikembangkan
lagi menjadi “Koperasi Kredit Primer untuk Anggota” (KKPA), dimana para
transmigran berhak menerima kredit bank yang disubsidi. Struktur KKPA
mirip dengan struktur pola PIR yang mencakup kemitraan antara perusahaan
dan para petani.
Biasanya, pola KKPA memakai kontrak yang
ditandatangani perusahaan, petani yang bergabung dalam koperasi serta
bank-bank dalam pengawasan pemerintah. Para petani menyerahkan lahannya
ke perusahaan yang menanam, mengelola dan memanen hasil tanamannya.
Kemudian, pola PIR juga dipakai di daerah non-transmigran, yaitu
penduduk asli. Di daerah perladangan dengan daerah belukar dan hutan
karet seperti di Kalimantan Barat dan Jambi, mulai dikembangkan PIR
sekitar 1990an. Biasanya, penduduk sudah pernah mengetahui pola PIR dari
desa-desa trans di sekitarnya. Secara teoretis, perkebunan sawit juga
membuka lapangan kerja untuk petani yang tidak memiliki lahan sawit
sendiri. Menurut hasil studi Barber, petani cenderung lebih suka mencari
pekerjaan lain karena gaji di kebun sawit terlalu rendah.
Masing-masing keluarga dari desa
masyarakat penduduk asli yang akan diikutsertakan dalam pola PIR
dituntut untuk memberikan tujuh hektar lahan belukar atau hutan karet
sebagai kontribusinya. Untuk tujuan itu, para kepala desa didatangi oleh
pejabat Dinas Perkebunan yang menuntut agar lahan tidur dari desanya
diserahkan kepada pengembang perkebunan. Sebagai gantinya, setiap
keluarga menerima dua hektar lahan milik yang ditanami sawit. Uang
kredit yang dibutuhkan untuk biaya persiapan lahan, bibit, pupuk dan
pestisida dipotong dari hasil panennya nanti. Pemerintah daerah ikut
dalam proses sebagai fasilitator antara para pihak terkait dan sebagai
instansi yang mengeluarkan sertifikat tanah. Bank pun menahan sertifikat
lahan sampai hutang para petani dilunasi. Menurut peneliti Laurène
Feintrenie dari Center for International Forest Research (CIFOR) Bogor,
semua layanan tersebut terkena biaya yang ditambahkan pada hutang
petani.
Pada 1990an, hutang petani untuk dua
hektar lahan sawit yang harus dikembalikan kepada perusahaan sawit
menjadi 9.4 juta rupiah ditambah dengan bunga sebanyak 11 persen per
tahun sebelum pohon sawit mulai membawa hasil serta 14 persen bunga
setelah mulai panen. Selama 10 tahun, petani akan dipotong 30 persen
dari hasilnya untuk layanan kredit, serta 20 persen untuk ongkos
replanting. Setelah kreditnya lunas, ongkos untuk layanan replanting
tetap dikenakan kepada petani. Kalau semua berjalan seperti diinginkan,
kemungkinan besar para petani akan bertambah makmur dengan kepemilikan
lahan sawit. Tetapi, pengembalian hutang dari pola PIR butuh waktu yang
cukup lama dan hal itu menjadi beban berat bagi petani. Menurut
Greenpeace Indonesia, hal itu dicerminkan secara tragis waktu harga CPO
di pasar internasional turun drastis pada 2008. Berita media massa
banyak diwarnai oleh petani sawit yang bunuh diri karena utang yang
semakin melilit.
Sayangnya, petani dalam posisi
tawar-menawar yang lemah karena kekurangan informasi. Hal itu cenderung
disalahgunakan oleh pengembang. Menurut kakulasi ekonomis oleh Kepala
Research Domain on Globalised Trade and Investment di CIFOR, Pablo
Pacheco, perusahaan sawit meminta biaya yang terlalu tinggi dari para
petani dibandingkan dengan layanan yang diberikan kepad mereka. KUD juga
tidak mampu membantu para petani. Masalahnya, informasi yang mereka
miliki sama persis dengan apa yang diketahui petani. Karena pengembang
perkebunan memiliki dukungan politis yang kuat, usaha-usaha KUD untuk
memperbaiki posisi tawar-menawar petani atau untuk menerima informasi
lebih jelas mengenai hak dan tanggung-jawab kedua belah pihak
diberhentikan di tingkat administrasi yang lebih tinggi.
Implikasi Sosio-ekonomis dan Ekologis
Prospek bahan bakar nabati dan rencana
perluasan kebun sawit diperdebat secara kontroversial di Indonesia. Satu
pihak menilai minyak sawit dipandang sebagai barang dagangan yang
memiliki peranan penting untuk menahan perubahan iklim, menyediakan
sumber energi aternatif dan memberikan kontribusi kepada perkembangan
ekonomis serta mata penceharian di pedesaan. Di pihak lain, muncul
kekhawatiran tentang pengaruh sosial, ekonomis dan ekologis yang tidak
diinginkan.
Menurut Pablo Pacheco, pelaksanaan dalam
pengembangan kebun sawit kebanyakan tergantung dari kebijakan
perusahaan, pemerintah daerah dan kapasitas sosial dari kelompok petani
serta masyarakat yang terlibat dalam produksi. Sering kali, masyarakat
lokal tidak menolak pengembangan kebun sawit, tetapi menuntut pembagian
hasil yang adil dan ingin mempertahankan haknya atas lahan yang biasanya
diakui kepemilikannya dalam hukum adat setempat.
Menurut penelitian Prof Dr. Daniel
Mudiyarso dari CIFOR, akibat ekologis dari perluasan kebun sawit adalah
deforestasi yang luas, khususnya di daerah rawa dan emisi karbon yang
tinggi. Kekhwatiran sekarang adalah bahwa lahan belukar tua yang juga
memiliki keanekaragaman hayati tinggi akan digunakan untuk perluasan
kebun sawit. Soalnya, kawasan hutan sekunder itu tidak dilindungi oleh
Moratorium Konversi Hutan dan kategori-kategori lahan lain sudah mulai
menjadi jarang.
Mekanisme Ramah Lingkungan
Pada 2004 lalu World Wildlife Fund
bersama dengan utusan-utusan industri, menginisialisasikan Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai reaksi pada tekanan para pembeli
dari negara industri. RSPO yang dipimpin oleh produsen minyak sawit
berkomitmen pada pola produksi yang lestari. Anggota RSPO dan peserta
lainnya memiliki latar belakang yang berbeda, termasuk perusahaan kebun
sawit, pengelola dan pedagang produk minyak sawit, LSM lingkungan dan
sosial. Semua berasal dari negara yang memproduksi dan memakai minyak
sawit.
RSPO menciptakan pola sertifikasi untuk
produksi minyak sawit yang ramah lingkungan. Organisasi yang berbasis di
Swiss itu mendefinisikan kriteria mulai dari metode kultivasi pohon
sawit hingga ke isu hak buruh. Sampai sekarang, hanya sekitar 10 persen
dari produksi global sesuai dengan standard RSPO. Menurut data RSPO,
pada bulan februari 2012, lebih dari 1,336,910 hektar kebun sawit sudah
tersertifikasi. 5,704,342 juta ton CPO dan 1,324,981 juta ton CSPK
(Certified Sustainable Palm Kernel Oil) diterima untuk sertifikasi.
Indonesia, mengembangkan sistem sertifikasi sendiri yang bernama
Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Beberapa analis mempertanyakan sejauh
mana produksi RSPO akan diperluas. Masalahnya, di negara konsumen
terpenting, seperti China dan India, kelestarian kurang dianggap
krusial, demikian hasil studi oleh Rabobank. Tetapi sebagian dari
industri memiliki tujuan yang ambisius: Cargill Tropical Palm Holdings
di Singapura ingin agar disertifikasikan semua produknya sampai 2020
dengan label RSPO. Dr. Silvia Werner