Ekspansi perkebunan kelapa sawit di
kawasan hutan yang tidak seharusnya dijadikan lahan perkebunan semakin
sulit terbendung. Lahan gambut yang memiliki fungsi sangat penting untuk
menjaga keseimbangan ekosistem, tak luput dari ulah tangan-tangan tak
bertanggung jawab. Lebih dari 62.000 hektare lahan gambut tripa di
Kabupaten Nagan Raya, Aceh, sekitar 40.000 hektare kini berubah menjadi
perkebunan kelapa sawit. Di tengah besarnya ancaman bencana, mata publik
harus diperlihatkan kepada fakta bahwa bahaya kerusakan lahan gambut
akan sangat merugikan karena itu, tidaklah tepat jika perkebunan kelapa
sawit dibiarkan beroperasi di lahan gambut.
Hal tersebut dikemukakan oleh Adji Darsoyo, selaku Communication
& Fundraising Coordinator PAN Eco – Yayasan Ekosistem Lestari kepada
MedanBisnis. Menurutnya, saat ini terjadi ancaman yang sangat besar
terhadap keberadaan lahan gambut khususnya yang berada di Kabupaten
Nagan Raya, Aceh. Dikatakannya, kerusakan hutan rawa tripa yang
merupakan lahan gambut sudah sangat parah. Dari total luasan lahan
gambut yang mencapai lebih dari 62.000 hektare, tak kurang dari 40.000
hektarenya sudah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit yang
beroperasi sejak tahun 1990-an yang mana setiap perusahaan memiliki
konsesi puluhan ribu hektare.
“Mengubah lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit akan sangat
mengancam keseimbangan ekosistem. Akan sangat banyak kerugian yang harus
ditanggung jika lahan gambut itu rusak,” katanya.
Ia mengungkapkan, kerusakan lahan gambut tripa disebabkan oleh
beroperasinya 5 perusahaan besar yang menyulapnya menjadi perkebunan
kelapa sawit. Padahal, lahan gambut merupakan suatu kawasan yang
berfungsi sebagai pelindung dari terjadinya bencana tsunami, habitat
ribuan satwa langka dan dilindungi, kawasan resapan air yang mengatur
ketersediaan sumber air sekitar.
Di sisi lain, lahan gambut juga merupakan kawasan yang jika terbakar
akan sangat sulit untuk dipadamkan. “Dampak dari keberadaan perkebunan
kelapa sawit hingga sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat, dengan
terjadinya banjir yang sebelum adanya perkebunan tidak pernah terjadi,”
ungkapnya.
Ia mengungkapkan, hingga kini, tingkat deforestasi atau berkurangnya
fungsi gambut di kawasan tersebut sudah mencapai 70%. Dengan demikian
menuntut tindakan yang cepat untuk menghentikan perusakan lahan gambut
agar tidak berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
“Lahan gambut ini juga sebagai buffer atau pelindung dari masuknya
gelombang tsunami ke darat, berdasarkan peta satelit, di salah satu
kawasan yang sudah menjadi perkebunan kelapa sawit dan perusahaannya
membuat kanal ke laut, ternyata saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu,
gelombang tsunami sangat jauh masuk ke daratan, pintunya dari kanal yang
dibuat oleh perusahaan tersebut,” katanya.
Sebenarnya, lanjut Adji, Kabupaten Nagan Raya merupakan salah satu
daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terdahulu sebagai daerah
transmigrasi. Masyarakat transmigran menjadikan lahan gambut sebagai
tempat untuk mencari penghidupan. Hasil hutan dan laut yang diperoleh
semisal rotan, ikan lokan (lele raksasa), madu hutan dan lainnya. Namun
seiring beroperasinya perkebunan kelapa sawit di lahan gambut,
menjadikan pendapatan masyarakat menurun karena tidak bisa memperoleh
hasil dari hutan rawa gambut lagi. “Bahkan di saat hujan sebentar saja
langsung kebanjiran,” katanya.
Sebagian masyarakat yang melihat potensi perkebunan, kemudian
terdorong untuk ikut bekerja di perkebunan kelapa sawit atau memulai
menanamnya di depan rumahnya. Menurutnya, jika hal tersebut dibiarkan
tanpa adanya perhatian agar melindungi lahan gambut, maka dalam waktu
yang tidak lama lahan gambut akan semakin habis. Dengan demikian harus
masyarakat harus ditunjukkan kepada fakta bahwa jika lahan gambut
dirusak dan dialihkan fungsinya menjadi perkebunan kelapa sawit maka
akan sangat banyak kerugian yang akan dialami oleh masyarakat.
Begitu juga harus ditunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bisa akan
jauh lebih baik jika ditanam di darat dan bukannya di lahan gambut.
Ia menerangkan, untuk itu, pihaknya kemudian membuat proyek
percontohan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang tidak menggunakan
lahan gambut melainkan memanfaatkan lahan tidur dan memberdayakan
petani. Maka kemudian dipilihlah lahan tidur yang berdekatan di rawa
tripa, tepatnya di Desa Lamie dan Dusun Gagak Kabupaten Nagan Raya
dengan total areal mencapai 100 hektare. “Secara rincinya di Lamie
seluas 67 hektare dan Dusun Gagak 23 hektare, lahan tersebut dibagi
dalam 71 kavling yag dikelola oleh 60 petani, 48 orang petani di Lamie
dan 12 orang di Gagak,” katanya.
Tujuan utama dari proyek percontohan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan tersebut tidak lain adalah menunjukkan kepada publik bahwa
tidak seharusnya kelapa sawit ditanam di lahan gambut. Selain itu bahwa
lahan gambut akan sangat bermanfaat jika dibiarkan sesuai dengan
fungsinya. Dengan demikian lahan gambut tripa bisa terbebas dari ancaman
perkebunan kelapa sawit dan masyarakat bisa lebih memanfaatkan lahan
tidur yang selama ini tidak dimanfaatkan.
Menurutnya, pihaknya menemukan bahwa di luar perusahaan yang mengubah
lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit juga ada sekelompok
masyarakat yang ingin mengusahakan kelapa sawit. Namun dorongan tersebut
utamanya disebabkan karena tidak bisa memanfaatkan lahan tidur yang
dimilikinya sementara keinginan untuk meningkatkan pendapatan juga tidak
mungkin dihindari. “Intinya adalah, jika memang menghendaki perkebunan
kelapa sawit silakan tapi tidak di lahan gambut,” ungkapnya.