JAKARTA, HALUAN — Agen Investigasi Lingkungan Hidup atau Environmental Investigation Agency
(EIA) melaporkan ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan dibukanya
hutan telah mendorong pembalakan liar di Indonesia. Dalam kurun 20
tahun, antara tahun 1990 sampai 2010, wilayah perkebunan kelapa sawit
tumbuh 7 kali lipat, dari 1,1 juta hektare menjadi 7,8 juta hektare.
Meskipun ada berbagai analisis terkait tingkat deforestasi yang
diakibatkan oleh ekspansi tersebut, semua analisis tersebut menegaskan
bahwa kelapa sawit memainkan peran penting dalam perusakan hutan.
Sebuah studi yang diterbitkan tahun ini memperkirakan bahwa antara
tahun 2000-2010, Indonesia telah kehilangan setidaknya 1,6 juta hektare
hutan yang diubah menjadi konsesi kelapa sawit. Sebagian besar dari
hutan tersebut berlokasi di Kalimantan yang mencakup wilayah seluas
sekitar 1,1 juta hektare.
Analisis lain yang ditemukan adalah antara 1990-2005, lebih dari 50
persen ekspansi kelapa sawit di Indonesia terjadi dengan memakan
wilayah hutan alam. Suatu analisa pada tahun 2013 menemukan bahwa dalam
jangka waktu dua tahun sampai dengan tahun 2011, kelapa sawit merupakan
satu-satunya pendorong utama deforestasi di negara ini.
Selama periode ini, Indonesia mengalahkan Brazil sebagai negara
dengan tingkat deforestasi tahunan tertinggi dan, sebagai dampak
langsungnya, menjadi kontributor tertinggi ketiga terhadap perubahan
iklim yang didorong oleh kegiatan manusia
.
Dengan menggunakan data Kementerian Kehutanan (Kemenhut), EIA telah
melakukan penghitungan konservatif berdasarkan angka rata-rata sebesar
32,5 meter kubik kayu komersial per hektare di hutan-hutan yang
ditargetkan oleh perkebunan kelapa sawit.
Jika perhitungan ini diterapkan terhadap perhitungan yang sama-sama
konservatif mengenai kehilangan hutan, maka akan terlihat bahwa
pembukaan lahan oleh industri kelapa sawit telah menghasilkan setidaknya
52 juta meter kubik kayu antara tahun 2000-2010.
Namun, selama periode yang sama, laporan tahunan Kemenhut hanya
mencatat 39 juta meter kubik kayu dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK),
perizinan yang mengatur kayu yang dipanen pada saat konversi hutan.
Terdapat kesenjangan yang jauh melebihi perkiran angka 13 juta meter
kubik tersebut, karena angka IPK dari Kemenhut selama periode ini juga
meliputi wilayah hutan alam yang dibuka untuk mendirikan konsesi kayu
HTI dan pertambangan.
Defisit pada angka tersebut kemungkinan terjadi karena beberapa
alasan. Kemenhut tidak mengumpulkan data kayu dari tempat-tempat dimana
kayu tersebut diproduksi, namun berdasarkan laporan dari pabrik
penggergajian terkait sumber kayu yang digunakan.
Selain itu, sampai dengan tahun 2010, Kemenhut hanya mengumpulkan
data dari pabrik penggergajian besar yang memiliki perizinan untuk
memproses lebih dari 6.000 meter kubik setiap tahunnya.
Penelitian yang dilakukan oleh EIA telah menunjukkan bahwa sejumlah
besar kayu diproses oleh pabrik penggergajian kecil dan menengah yang
beroperasi berdasarkan izin lokal dan tidak terekam dalam angka IPK yang
diterbitkan Kemenhut.
Atas temuan ini, EIA merekomendasikan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan segera memerintahkan audit SVLK pada semua pemegang Izin
Pemanfaatan Kayu ( IPK ), dan mencabut izin perusahaan yang menolak
melakukannya. (h/ant)