Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) memproyeksikan
ekspor produk sawit dan turunannya di tahun 2015 sekitar 23,7 juta ton.
Komposisi ekspor berupa crude oils (CPO dan lainnya) sebesar
9,9 juta ton atau setara 42% dari jumlah target ekspor. Sedangkan ekspor
dalam bentuk hilir sawit atau Processed Palm Oil (PPO) sebanyak 13,8 juta ton atau 58%.
Berdasarkan data GIMNI, total volume ekspor sawit di tahun 2014 sebanyak 23,6 juta ton. Komposisinya berupa crude oils sebanyak 9,9 juta ton atau 42% dari total ekspor dan PPO 58% atau setara 13,7 juta ton.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, mengatakan, target ekspor di
tahun ini identik dengan pencapaian bisnis sawit pada 2014. Sejumlah
kendala memperlambat target ekspor produk sawit dan turunannya. Ia
berharap pemerintah membuat terobosan kebijakan pada tahun ini. “
Sebaiknya, pemerintah memperbaiki kelancaran barang di pelabuhan bisa
berjalan dengan lebih baik lagi,” jelasnya.
Jumlah pelabuhan untuk melayani ekspor produk sawit dan turunannya
masih terbatas. Fasilitasnya pun kurang memadai dalam hal cegah
kontaminasi dan kecepatan muat, hal ini mengakibatkan sering timbul demurrage cost dan menyebabkan pembeli luar negeri tidak mau menanggung ketidakpastian schedule loading dan berangkat kapal. Demurrage cost
yang semakin meningkat kejadiannya, menyebabkan sawit Indonesia selalu
kalah bersaing dengan negara – negara penghasil sawit lainnya.
Tingginya demurrage cost yang besar memperberat beban eksportir sawit. Kecepatan loading dan handling
sawit di pelabuhan Indonesia kurang memadai. Sahat mendorong
pemerintah menerbitkan regulasi di seluruh pelabuhan ekspor serta
memodernisasi fasilitas tangki timbun agar waktu tunggu kapal di
dermaga bisa dipersingkat.
Sahat mengatakan harga minyak sawit dunia turun sejak kuartal III
2014 sehingga kinerja industri hilir kelapa sawit (IHKS) relatif tidak
bagus dibandingkan tahun 2012 dan 2013. “Kinerja industri hilir sawit
cenderung menurun pada tahun ini,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan penurunan harga CPO membuat bea keluar sawit di level 0%. Dampaknya, eksportir memilih ekspor minyak sawit daripada produk PPO. Berdasarkan Peraturan Kemterian Perdagangan Nomor 93/2014, produk CPO bisa bebas bea keluar apabila harga sawit dunia di bawah US$ 750 per ton.
Sampai Januari 2015, lanjut Sahat, Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO
sebesar US$ 625 per ton. Harga CPO diperkirakan Sahat akan rendah hingga
Maret 2015. Perlambatan ekonomi global berpengaruh terhadap harga-harga
barang komoditas, termasuk kelapa sawit. Permintaan sawit dari Tiongkok
dan negara maju dalam beberapa tahun terakhir ini tidak begitu agresif.
Sahat mengatakan volume ekspor produk hilir sawit pada 2012-2014
grafiknya menurun. Jumlah total ekspor produk sawit sebanyak 20,7 juta
ton. Sedangkan tahun 2013, volume ekspor produk sawit mencapai 22,9 juta
ton.
Insentif
Sahat mengusulkan pemerintah memberikan insentif fiskal dalam bentuk tax holiday untuk perusahan yang berinvestasi di Industri Hilir Kelapa Sawit yang nilainya di atas Rp 1 triliun. Tax allowance
bagi investasi pun diperlukan bagi investor yang berinvestasi di luar
pulau Sumatera dan Jawa. Investasi industi hilir sawit diperkirakan
mencapai $ 2,03 miliar dalam rentang periode 2013-2015.
Selama ini produk CPO Indonesia sangat bergantung pada pasar luar
negeri alias ekspor. Sekitar 70 % dari total produksi CPO di ekspor ke
Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya. Sedangkan pasar dalam negeri
hanya mampu menyerap sekitar 30 %. Daya saing produk sawit Indonesia
relatif rendah dibandingkan negara produsen lainnya. Industri hilir
sawit pun cenderung melambat. Untuk itu, penyerapan produk sawit yang
diproses di dalam negeri perlu ditingkatkan bersama-sama antara
pengusaha sawit dan pemerintah. (***)