Koalisi masyarakat sipil mengkritisi UU Nomor 39 tahun 2014 tentang
Perkebunan karena dinilai tak mencerminkan aspek keadilan yang hanya
menguntungkan investor besar dan mengancam lingkungan. Petani kecil dan
masyarakat adat bakal makin terpinggirkan.
“Kami berharap UU ini bisa mengatur persoalan sosial dan lingkungan
dalam aktivitas perkebunan besar. Ada solusi alternatif terkait konflik
agraria baik dengan masyarakat adat, buruh perkebunan dan lingkungan.
Tetapi UU ini tidak memberikan solusi. Justru akan timbulkan masalah
baru ke depan,” kata Marsuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit
(SPKS), di Jakarta, Selasa (17/2/15).
Dia mencontohkan, soal ketentuan pelaku usaha perkebunan. Defenisi
pelaku usaha adalah perusahaan dan petani. Namun, dalam konteks
pelaksanaan dan perlindungan negara, cenderung berpihak perkebunan
besar. “Padahal, petani disebutkan sebagai pelaku usaha perkebunan.”
“Sejak muncul perkebunan sawit timbulkan banyak masalah dipicu
perusahaan besar. Masalah bukan di petani, tapi perusahaan besar.”
Darto mengatakan, visi Presiden Joko Widodo, soal ekonomi kerakyatan
berarti peran koperasi diperkuat. Sayangnya, sejak skema kemitraan
muncul 1980an, koperasi seperti dimutilasi negara.
“Koperasi dibiarkan berdiri dan diatur negara tetapi dikunci,
dikontrol pendanaan dan pengembangan. Dana tidak diberikan agar bisa
mandiri. Akses bibit, pupuk dan sarana produksi lain dibatasi. Hingga
ekonomi kerakyatan itu cenderung kabur,” katanya.
Ada skema pendanaan untuk petani kecil. Pemerintah memberikan subsidi
bunga dari APBN, kebijakan ini berjalan selama 10 tahun. “Ini untuk
pembangunan perkebunan rakyat. Anehnya, subsidi bunga itu tidak langsung
kepada koperasi atau kelompok tani. Tapi diberikan kepada perusahaan
besar,” katanya.
Pendanaan petani kecil, katanya, wajib melalui perusahaan besar dalam
skema kemitraan. Hingga membuat koperasi dan petani kecil sulit
berkembang.
Dia berharap, melalui UU Perkebunan, pemerintah bisa merevisi ulang
tata kelola perkebunan berkelanjutan, berkeadilan, berkedaulatan dan
berkerakyatan baik aspek lingkungan serta hak asasi manusia. “Skema
perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur.”
Kemitraan, masih belum mampu memposisikan petani sejajar dengan
perusahaan dalam pengelolaan usaha. Padahal, kemitraan selama ini sangat
tidak adil hingga menimbulkan konflik.
Dede Shineba, Departemen Politik dan Jaringan Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) mengatakan, pengesahan UU ini lucu. Sebelumnya, beberapa
materi UU pernah uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK) 2011. Kemudian
diterapkan kembali.
“Dulu banyak sekali warga ditangkap hanya gara-gara bawa parang ke
kebun. Atau masuk kebun yang masih konflik.” Setelah uji materil
dikabulkan, DPR revisi UU ini dengan memasukkan kembali item-item
kriminalisasi.
“Kami menduga ke depan, tentu banyak konflik, pelanggaran HAM dan perampasan tanah. Itu makin masif.”
Kini, luas perkebunan sawit di Indonesia, mencapai 13.297.759 hektar. Produktivitas minyak sawit (crude palm oil/CPO) mencapai lebih 21 juta ton. Sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor sawit terbesar dunia.
“Ada mengatur musyawarah masyarakat adat. Padahal, musyawarah
masyarakat adat itu tidak ada aturan,” kata Direktur Eksekutif Sawit
Watch, Jefri Saragih.
Di daerah banyak sawit, posisi dan pengaruh tokoh sangat dominan.
Kepala desa, tokoh agama dan ketua adat paling sering didekati
perusahaan. “Biasa kalau sudah ada musyawarah, kelompok ini yang
dominan. Masyarakat kebanyakan menolak sawit, itu hampir tak terdengar
sama sekali. Pro dan kontra cenderung mengakibatkan konflik masyarakat,”
katanya.
Permasalahan lain ada tentang masyarakat adat yang harus ditetapkan
berdasarkan UU. Sementara di Indonesia, baru masyarakat adat Baduy di
Banten yang mendapatkan pengakuan. Masyarakat adat di Kalimantan, Papua
dan wilayah lain belum ada pengakuan legal pemerintah.
Gunawan dari Indonesian Humam Rights Committee for Social Justice
(IHCS) mengatakan, UU Perkebunan gagal menyelesaikan urusan konflik dan
reforma agraria. “Kalau dulu nenek moyang mereka sebagai buruh tani era
kolonialisme, status keturunan juga masih buruh tani.”
Untuk itu, jika pemerintah mengakui masyarakat adat, harus menerima
tata cara musyawarah di masyarakat adat. UU ini, makin menegaskan watak
tidak mengakui masyarakat adat. Ini terlihat dalam kalimat, masyarakat
adat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan.
“Konteks konstitusi sudah jelas perbedaan antara pengakuan dan
penetapan. Pengakuan berarti masyarakat ada dan pemerintah mengakui.
Kalau ditetapkan berarti masyarakat adat daftar dulu baru ditetapkan,”
katanya. Yang terjadi dalam konflik agraria, pemerintah daerah tidak
menetapkan hingga hak adat mereka dilanggar.
Ancam lingkungan
Annisa Rahmawati, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, ada tiga pasal menyinggung keberlanjutan lingkungan.
“Dalam Pasal 2 dan 3, memperhatikan keberlanjutan dan fungsi
lingkungam hidup. Lalu, Pasal 32, ada kewajiban mengikuti peraturan
mendukung keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup. Ayat dua
mensyaratkan, pelaku perkebunan mendapatkan cara mencegah kerusakan dan
pencemaran lingkungan.
Namun, katanya, UU ini ancaman besar, terutama mengamankan konsesi perkebunan bernilai konservasi dan berstok karbon tinggi.
Dalam Pasal 16-17, ada kewajiban perusahaan mengusahakan lahan
perkebunan tiga tahun pertama paling sedikit 30%. Apabila tidak akan
kena sanksi administratif berupa denda, penghentian sementara hingga
pencabutan izin.
“Ini dilema bagi perusahaan yang berkomitmen menjaga hutan. Karena
tidak didukung regulasi. Jika tidak diusahakan, dicabut izin. Ini
ketakutan luar biasa dari perusahaan.”
Untuk itu, kata Annisa, peraturan lahan tidur harus direvisi atau
paling tidak ada aturan yang melegalkan. Hingga tidak membuat ketakutan
industri untuk proteksi lahan bernilai konservasi dan berkarbon tinggi.