JAKARTA - Kementerian
Pertanian, asosiasi industri, dan anggota DPR mempertanyakan maraknya
riset dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengaitkan penguasaan
lahan perkebunan kelapa sawit dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
berupa perampasan lahan, perusakan lingkungan, serta konflik sosial.
Riset yang mengarah pada kampanye negatif itu terbukti mengganggu perkembangan budi daya sawit dan merusak iklim investasi di negeri ini. Sekjen Kementerian Pertanian (Kementan) Hari Priyono menegaskan, perkebunan kelapa sawit masih banyak dimiliki oleh para petani. Dia pun menepis tudingan yang menyebutkan perkebunan sawit dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
”Kelapa sawit memiliki peran besar bagi ekonomi Indonesia, saat ini luas lahan kelapa sawit 10,5 juta hektare (ha), 4,4 juta ha dimiliki oleh petani. Dengan data itu, tidak benar kalau perkebunan kelapa sawit dikuasai perusahaan besar,” kata Hari. Data Kementan tersebut juga mematahkan riset yang dilakukan LSM yang menyebutkan 25 grup bisnis milik taipan di Indonesia memiliki kendali atas 5,1 juta ha kebun sawit di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, masalah penguasaan lahan tidak sama sekali berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum. Perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
”Tidak ada hubungannya dengan HAM karena aturan kepemilikan lahan sudah jelas. Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah itu misalnya dengan dialog dan negosiasi untuk kompensasi,” ucapnya.
Dia mengatakan, struktur kepemilikan lahan sekitar 42% dimiliki oleh petani, sedangkan 58% itu dimiliki perusahaan negara (PTPN) maupun swasta. Joko mengungkapkan, perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi, dan modal yang kuat.
Menurut Joko, riset yang dilakukan seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari satu sisi tertentu saja. Terkait dengan lahan, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum. ”Prosedurnya adalah dialog bilateral untuk negosiasi. Jika tak berhasil, dilakukan mediasi oleh pemerintah,” katanya.
”Namun, jika ini gagal, yang bisa ditempuh adalah melalui jalur hukum.” Dia menuturkan, ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Masalahnya, ekspansi untuk meningkatkan produksi selalu diserang dengan berbagai kampanye negatif, termasuk riset oleh pihak tertentu dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga masalah HAM.
”Padahal substansinya adalah kompetisi pasar minyak nabati global,” kata kandidat kuat ketua umum Gapki ini. Achmad Manggabarani, ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), menilai maraknya riset yang dilakukan oleh LSM memang cenderung mendiskreditkan industri kelapa sawit di Indonesia dan dapat dikategorikan kampanye negatif.
”Karena itu, kita harus mempertanyakan riset tersebut, apa maksud dan tujuannya, bagaimana metodenya,” ungkapnya. Menurut dia, sudah semestinya seluruh stakeholders tunduk kepada data pemerintah yang bertugas mengatur perkembangan industri. Itu perlu mengingat industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara, tenaga kerja, dan pemerataan pembangunan di daerah.
”Jangan sampai riset yang belum valid itu justru dijadikan patokan, padahal pemerintah sebagai otoritas yang berwenang memiliki data yang berbeda,” kata Manggabarani yang juga mantan Dirjen Perkebunan ini. Firman Subagyo, anggota Komisi IV DPR, juga menilai sudah cukup lama komoditas sawit di Indonesia menghadapi gencarnya kampanye hitam dari berbagai penjuru, terutama LSM.
”Kita mestinya jangan langsung percaya dengan riset LSM tersebut, harus dicek lagi bagaimana metodenya, apa saja samplingnya,” ucapnya. Jika riset itu berbeda dengan data pemerintah, stakeholders bisa melayangkan protes terhadap riset tersebut. ”Apa maksud dan tujuan dilakukannya riset itu, perlu didalami sehingga tidak kontraproduktif,” katanya.
Tungkot Sipayung, direktur eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), menambahkan dari total luas kebun sawit di Indonesia, petani menguasai 46% lahan kebun sawit, ditambah BUMN 10%, dan swasta 44%. Dari jumlah itu, swasta terbagi dua, asing 30% dan sisanya lokal. Ke depan, kata Tungkot, diproyeksikan penguasaan lahan sawit oleh petani akan meningkat menjadi 51% pada 2020 seiring peningkatan kesejahteraan dan program kemitraan korporasi dengan petani plasma.
Sudarsono
Riset yang mengarah pada kampanye negatif itu terbukti mengganggu perkembangan budi daya sawit dan merusak iklim investasi di negeri ini. Sekjen Kementerian Pertanian (Kementan) Hari Priyono menegaskan, perkebunan kelapa sawit masih banyak dimiliki oleh para petani. Dia pun menepis tudingan yang menyebutkan perkebunan sawit dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
”Kelapa sawit memiliki peran besar bagi ekonomi Indonesia, saat ini luas lahan kelapa sawit 10,5 juta hektare (ha), 4,4 juta ha dimiliki oleh petani. Dengan data itu, tidak benar kalau perkebunan kelapa sawit dikuasai perusahaan besar,” kata Hari. Data Kementan tersebut juga mematahkan riset yang dilakukan LSM yang menyebutkan 25 grup bisnis milik taipan di Indonesia memiliki kendali atas 5,1 juta ha kebun sawit di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, masalah penguasaan lahan tidak sama sekali berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum. Perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
”Tidak ada hubungannya dengan HAM karena aturan kepemilikan lahan sudah jelas. Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah itu misalnya dengan dialog dan negosiasi untuk kompensasi,” ucapnya.
Dia mengatakan, struktur kepemilikan lahan sekitar 42% dimiliki oleh petani, sedangkan 58% itu dimiliki perusahaan negara (PTPN) maupun swasta. Joko mengungkapkan, perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi, dan modal yang kuat.
Menurut Joko, riset yang dilakukan seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari satu sisi tertentu saja. Terkait dengan lahan, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum. ”Prosedurnya adalah dialog bilateral untuk negosiasi. Jika tak berhasil, dilakukan mediasi oleh pemerintah,” katanya.
”Namun, jika ini gagal, yang bisa ditempuh adalah melalui jalur hukum.” Dia menuturkan, ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Masalahnya, ekspansi untuk meningkatkan produksi selalu diserang dengan berbagai kampanye negatif, termasuk riset oleh pihak tertentu dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan, perubahan iklim, hingga masalah HAM.
”Padahal substansinya adalah kompetisi pasar minyak nabati global,” kata kandidat kuat ketua umum Gapki ini. Achmad Manggabarani, ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB), menilai maraknya riset yang dilakukan oleh LSM memang cenderung mendiskreditkan industri kelapa sawit di Indonesia dan dapat dikategorikan kampanye negatif.
”Karena itu, kita harus mempertanyakan riset tersebut, apa maksud dan tujuannya, bagaimana metodenya,” ungkapnya. Menurut dia, sudah semestinya seluruh stakeholders tunduk kepada data pemerintah yang bertugas mengatur perkembangan industri. Itu perlu mengingat industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang besar bagi devisa negara, tenaga kerja, dan pemerataan pembangunan di daerah.
”Jangan sampai riset yang belum valid itu justru dijadikan patokan, padahal pemerintah sebagai otoritas yang berwenang memiliki data yang berbeda,” kata Manggabarani yang juga mantan Dirjen Perkebunan ini. Firman Subagyo, anggota Komisi IV DPR, juga menilai sudah cukup lama komoditas sawit di Indonesia menghadapi gencarnya kampanye hitam dari berbagai penjuru, terutama LSM.
”Kita mestinya jangan langsung percaya dengan riset LSM tersebut, harus dicek lagi bagaimana metodenya, apa saja samplingnya,” ucapnya. Jika riset itu berbeda dengan data pemerintah, stakeholders bisa melayangkan protes terhadap riset tersebut. ”Apa maksud dan tujuan dilakukannya riset itu, perlu didalami sehingga tidak kontraproduktif,” katanya.
Tungkot Sipayung, direktur eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), menambahkan dari total luas kebun sawit di Indonesia, petani menguasai 46% lahan kebun sawit, ditambah BUMN 10%, dan swasta 44%. Dari jumlah itu, swasta terbagi dua, asing 30% dan sisanya lokal. Ke depan, kata Tungkot, diproyeksikan penguasaan lahan sawit oleh petani akan meningkat menjadi 51% pada 2020 seiring peningkatan kesejahteraan dan program kemitraan korporasi dengan petani plasma.
Sudarsono